SUASANA di sudut Plaza Festival, Jakarta Selatan cukup nyaman. Ada sebuah fasilitas panjat dinding yang dapat dimanfaatkan para penyuka olahraga merayap di tembok. Sedangkan di belakangnya ada hamparan rumput hijau yang menyejukan mata.

Area itu bagian dari kompleks terintegrasi yang terdiri atas ruang komersial, kuliner, olah raga, dan pendidikan. Nah, di salah satu sudutnya berdiri Universitas Bakrie yang siang itu menjadi tujuan saya. “Kami ingin mengundang Pak Edo selaku ketua RSA Indonesia untuk berbagi soal keselamatan jalan,” ujar Fadhil, ketua panitia seminar keselamatan jalan yang digelar Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil (HMTS) Universitas Bakrie. Pelaksanaan acara sempat tertunda, hingga akhirnya digelar pada Senin, 12 Mei 2014 siang. Bagi Road Safety Association (RSA) Indonesia syiar keselamatan jalan (road safety) di perguruan tinggi bukan hal baru. Tahun-tahun sebelumnya sudah pernah di beberapa perguruan tinggi seperti di Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Binus. Mahasiswa perguruan tinggi tak hanya berpotensi menjadi pemimpin nusa dan bangsa. Kelompok usia ini juga potensial menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan. Sebaliknya, mereka juga potensial menjadi agen pergerakan keselamatan jalan dengan catatan jika memiliki kemauan. Karena itu, RSA Indonesia dengan antusias merespons undangan HMTS Universitas Bakrie. Selain saya, ada Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Warsinem, kasubdit Dikyasa Ditlantas Polda Metro Jaya. Selain itu, Milatia Moemin-Kusuma, ketua Komunikasi Publik Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Kami bertiga didaulat untuk berbagi pengalaman dengan para mahasiswa dan civitas akademika Universitas Bakrie. Oh ya, dari RSA Indonesia ikut hadir Ivan Virnanda dan Rio Octaviano serta seorang relawan, Poetro dari Kulo Bikers Sanes Gangster (KBSG). Sebagai pemrasaran pertama, RSA Indonesia menyodorkan tema ‘Rakyat Harus Memberdayakan Dirinya Sendiri.’ Saat ini, rakyat sebagai pengguna jalan tidak bisa seratus persen mengharapkan negara memberi proteksi maksimal di jalan raya. Karena itu, rakyat harus membekali diri dengan pengetahuan dan perilaku berkendara yang aman dan selamat. Belajar dari berbagai sumber untuk memperkecil potensi terjadinya kecelakaan. Saya tegaskan bahwa public juga harus mampu memangkas mentalitas jalan pintas yang menjadi akar perilaku saling serobot atau pelanggaran aturan di jalan. Kita semua tahu, mayoritas pemicu kecelakaan, yakni 42% adalah perilaku tidak tertib. Kota Jakarta memang penuh persoalan. Kecelakaan lalu lintas jalan menjadi salah satu problema kota. Tiap hari terjadi 20-an kasus yang merenggut tiga jiwa warga kota. Lagi-lagi, faktor utama pemicunya adalah manusia sebagai pengendara. Salah satu biang keroknya adalah perilaku tidak tertib. “Bagaimana mendidik pengguna jalan agar tidak sembrono dan barbar saat di jalan raya?” Tanya Toni, dekan Fakultas Ekonomi Universitas Bakrie. Soal ini, kami RSA Indonesia menitikberatkan pada peran keluarga sebagai benteng utama menjaga perilaku pengguna jalan. Lewat kehangatan cinta keluarga bisa ditransformasikan nilai-nilai luhur keadaban manusia. Salah satunya, melahirkan keadaban di jalan raya yang sudi berbagi, toleran, dan taat aturan di jalan. Kewibawaan hukum mesti dijunjung sebagai wujud keadaban manusia. Langkah-langkah itu sebagai upaya memperkecil potensi terjadinya kecelakaan di jalan, termasuk mereduksi fatalitas yang buruk ketika terjebak kecelakaan di jalan. AKBP Warsinem menyodorkan fakta bahwa kesemrawutan lalu linta jalan dan kecelakaan juga dipicu oleh infrastruktur jalan yang buruk. Jalan yang rusak, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat, dan perilaku pengguna jalan yang buruk menjadi paduan yang ampuh dalam mewujudkan kesemrawutan di jalan. Karena itu, dia mengajak para mahasiswa untuk sudi menaati aturan yang ada saat di jalan. “Jumlah petugas sangat terbatas di Jakarta, kami berharap masyarakat mau menjaga ketertiban saat di jalan,” kata dia. Sementara itu, Milatia menekankan agar pembangunan kota lebih memanusiakan warganya. Para pembangun infrastruktur kota maupun perancang pembangunan kota lebih membuat kota terasa nyaman bagi seluruh lapisan warganya. “Kota yang aman, nyaman, dan selamat menjadi sebuah kebutuhan dasar manusia,” katanya. “Tapi, kadang ada pembangunan infrastruktur yang justeru membuat pengguna jalan harus memutar jauh, tidak efisien,” sergah Ersa, mahasiswi Studi Manajemen Universitas Bakrie. Disinilah, dalam pandangan RSA Indonesia, perlunya peningkatan kesadaran untuk mentaati aturan yang ada. Mentalitas jalan pintas yang negatif seperti menerobos lampu merah dan melawan arus kendaraan, muncul karena sifat egois manusia. Antre dan sudi untuk berputar arah di putaran yang semestinya merupakan dua contoh pentingnya menghargai aturan yang sudah dibuat. Memang, di sisi lain, penegakan hukum harus tegas, konsisten, kredibel, transparan, dan tidak pandang bulu untuk menjaga aturan yang sudah ada. Kalau tidak, keruntuhan kewibawaan hukum tinggal soal waktu saja. (edo rusyanto)