Jakarta, 8 Oktober 2024 – Universitas Bakrie melalui Program Studi Ilmu Politik dan Laboratorium Ilmu Politik Universitas Bakrie menggelar diskusi terbatas mengenai restrukturisasi Badan Intelijen Negara (BIN) pada Senin (7/10) di Kampus Universitas Bakrie, Jakarta. Diskusi ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terkait berbagai tantangan keamanan yang dihadapi oleh Indonesia, baik di tingkat global, regional, maupun nasional, yang memerlukan kinerja intelijen yang lebih efektif dan responsif. Sejak diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2011 tentang Badan Intelijen Negara, publik semakin menyoroti kebutuhan restrukturisasi BIN, khususnya dalam aspek kelembagaan, sumber daya manusia (SDM), teknologi, koordinasi, hingga pengawasan demokratis.

Diskusi ini dipandu oleh Yudha Kurniawan, Kepala Laboratorium Ilmu Politik Universitas Bakrie, dengan para narasumber antara lain: Broto Wardoyo, Ph.D., Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia; Dr. rer. pol. Aditya Batara Gunawan, Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie; Dr. Rizal Darma Putra, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI); Muhammad Haripin, Ph.D. dari BRIN; Aisha Kusumasomantri, M.Sc., Direktur Riset Indo Pacific Strategic Intelligence; dan Erik Purnama, Co-Founder ISDS.

Berkaitan dengan aspek kelembagaan dan organisasional, Dr. Rizal Darma Putra menekankan pentingnya pemisahan fungsi strategis antara intelijen dalam negeri dan luar negeri. Menurutnya, pemisahan ini mendesak dilakukan mengingat kompleksitas ancaman yang dihadapi Indonesia saat ini. “Pemisahan fungsi intelijen luar negeri dan dalam negeri sangat diperlukan, begitu pula dengan kewenangan penegakan hukum bagi intelijen dalam negeri,” ujarnya. Ia juga menyoroti potensi abuse of power yang dapat terjadi di berbagai sektor, termasuk di BIN, mengingat tidak adanya otoritas yang memiliki kewenangan jelas untuk melakukan investigasi terhadap operasi BIN. Rizal juga menambahkan bahwa struktur kelembagaan BIN masih didominasi oleh unsur militer, yang terlalu erat dengan konflik kepentingan politik.

Muhammad Haripin, Ph.D. menggarisbawahi pentingnya penguatan BIN sebagai koordinator intelijen nasional, sesuai dengan amanat UU Intelijen. Namun, ia menyebut bahwa dalam praktiknya, fungsi BIN sebagai koordinator belum optimal, disebabkan oleh adanya ego sektoral di antara lembaga-lembaga yang memiliki fungsi intelijen. “Penguatan dan penegasan peran BIN sebagai koordinator intelijen sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini,” katanya. 

Aisha Kusumasomantri menekankan perlunya penguatan intelijen luar negeri, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar yang semakin kompleks, seperti destabilisasi politik yang dapat memengaruhi keamanan nasional. “Intelijen luar negeri harus lebih diperkuat karena ancaman eksternal semakin nyata,” tegas Aisha.

Terkait pengembangan SDM, Muhammad Haripin menilai bahwa proses rekrutmen dan pendidikan intelijen di Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan, termasuk dengan adanya sekolah khusus, kurikulum, dan pengajar dari kalangan sipil dan peneliti. Namun, ia juga menyoroti bahwa pola pendidikan ideal untuk para intelijen masih perlu diformulasikan lebih baik, terutama untuk menghindari politisasi di dalam BIN. “Rekrutmen sebaiknya dilakukan secara silent recruitment, bukan hanya didominasi oleh lulusan STIN,” tandas Rizal Darma Putra.

Erik Purnama menambahkan bahwa struktur di BIN saat ini banyak diisi oleh personel militer yang kariernya mulai stagnan, dan bukan merupakan produk terbaik dari ABRI. Ia juga menyoroti adanya politisasi dalam proses rekrutmen di STIN yang berimbas pada kualitas SDM di BIN. "Perlu adanya penguatan di bidang SDM, kelembagaan, dan sistem koordinasi untuk menghadapi tantangan yang ada," jelasnya.

Di samping itu, aspek pengawasan menjadi salah satu isu penting dalam diskusi ini. Dr. Rizal menekankan bahwa tantangan pengawasan terhadap lembaga intelijen, khususnya BIN, sangat kompleks. “Ada tiga bentuk pengawasan yang penting dilakukan terhadap intelijen, yaitu pengawasan anggaran, operasi, dan regulasi. Namun, di banyak negara, pengawasan terhadap lembaga intelijen selalu mengalami kesulitan,” ucap Rizal. Ia juga menambahkan bahwa transparansi dalam pengawasan sangat penting untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Muhammad Haripin menyebut bahwa tantangan utama pengawasan terhadap BIN saat ini terletak pada kekosongan aturan yang mengatur kewajiban pengawasan, adanya konflik kepentingan, serta kompleksitas ancaman yang dihadapi. “Pengawasan yang baik harus mampu meminimalisir konflik kepentingan dan memperkuat akuntabilitas anggaran BIN,” tambah Aisha Kusumasomantri.

Dalam aspek struktur kelembagaan, Aira Kusumasomantri mengkritisi pergeseran BIN yang awalnya lebih banyak diisi oleh kalangan sipil, namun kini didominasi oleh TNI dan Polri. “Struktur dari sembilan deputi di BIN, hanya satu yang outward-looking, sedangkan yang lainnya cenderung inward-looking. Padahal, ancaman yang dihadapi lebih banyak berasal dari luar,” ungkapnya. Hal ini juga diamini oleh Adit, yang menilai perlunya perubahan orientasi agar lebih fokus pada ancaman eksternal dan penguatan peran sipil dalam intelijen.

Diskusi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam merumuskan pemikiran terkait restrukturisasi dan penguatan lembaga intelijen di Indonesia. Selain itu, diskusi ini juga menjadi salah satu upaya dalam mengembangkan kajian intelijen di Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie.