Saya merupakan salah satu delegasi Indonesia mewakili gender wanita untuk berangkat ke konferensi ini. Selain saya, delegasi indonesia juga diwakili oleh Wahyu Wibowo sebagai peserta laki - laki dan Bp Tumpal selaku pendamping kami dari Wahana Visi Indonesia.

Kami berangkat pada hari rabu, 07.00 Desember 2016 dari Jakarta dan tiba di Kamboja pukul 18.00. Youth For Change Conference ini berlangsung selama 4 hari (8 - 11 Desember 2016) di Kamboja.


Konferensi ini diikuti oleh 7 negara yaitu Indonesia, Jepang, Korea, Taiwan, Singapore, Kamboja, dan Filipina.
Selama konferensi ini kami berdiskusi dan belajar bersama untuk merancang sebuah perubahan di negara kami masing masing.
Pada hari pertama kami berdiskusi mengenai Gender Equality. Kasus ini juga masih diperbincangkan di Indonesia. Kami menguatkan statement bahwa laki laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama.


Setelah itu, kami bertemu dengan salah satu tokoh perubahan di ranah Internasional yaitu Sebastien Marot, Direktur Friends Internasional. Pembelajaran yang saya dapat yaitu alasan mengapa kami para anak muda diperlukan di dunia ini untuk menjadi tokoh perubahan. Menjadi tokoh perubahan itu memang tidak semudah membalikan telapak tangan, tapi sebastian menekankan 1 hal kepada kami, yaitu kata "Just do it". Apapun pertanyaan yang berasal dari keraguanmu, Just Do It.
Pada hari selanjutnya saya juga mendapat workshop dari praktisi Internasional mengenai Design Thinking & Social Preneur. Di workshop paralel ini saya belajar mengenai step step untuk menciptakan suatu program yang sesuai dengan masalah yang terjadi serta bagaimana membuat perencanaan sebuat projek sosial preneur secara detil agar tepat sasaran dan tertuang dalam sebuah draft konsep.


Pada hari ke 3 saya diberi kesempatan untuk berkunjung ke desa Sa-ang (salah satu desa di Kamboja) untuk melihat langsung kondisi pedesaan di sana. Pertama, saya sampai di kelompok belajar anak di desa Sa-ang. Ketika saya sampai di sana, anak anak di desa tersebut sedang belajar di suatu aula yang lahannya digabung dengan kandang kerbau. Saya rasa ini bukan tempat yang ideal bagi anak anak untuk belajar. Proses belajar dan mengajar disini juga dilakukan oleh anak usia 15 tahun di wilayah tersebut. Seragam yang anak anak gunakan disanapun terlihat sangat lusuh. Mereka juga menggunakan sepeda tua yang berukuran besar sebagai alat transportasi mereka. Pengajar disana pun bicara pada saya bahwa anak anak di tempat ini juga belajar non akademis seperti mengetahui hak hak anak. Berhubung saya memiliki nyanyian untuk anak anak disana berupa tepukan agar mereka mudah untuk menghafal jenis jenis hak yang mereka miliki. Nyanyian tersebut adalah sbb :


Children Rights Clap (Clap 3x)
To Life (Clap 3x)
Grow Up (Clap 3x)
Protection (Clap 3x)
Participation (Clap 3x)
Children Rights, Children Rights Yeayyy
Nyanyian tersebut akan lebih mempermudah adik adik untuk menghafal hak mereka.
Setelah itu, saya juga berkesempatan untuk berdiskusi dengan remaja yang ada di desa tersebut untuk bersama sama membicarakan permasalahan yang mereka rasakan di desa tersebut.


Rangkaian terakhir dari acara ini adalah membuat rancangan project untuk isu yang kami pilih. Saya memilih isu mengenai Youth Unemployment bersama delegasi Indonesia dan Singapore. Project ini kami beri nama Youth Center. Youth Center ini merupakan project social preneur yang bertujuan untuk memberikan pelatihan kewirausahaan untuk para pemuda agar dapat menciptakan ekonomi kreatif bagi Indonesia. Youth Center ini akan kami sinergikan dengan RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) yang merupakan program pemerintah.

Penulis 

Siti Maysarah (Akuntansi, 2015)